Pengalaman Marathon pertama kali dengan vibram



Mungkin banyak dari pelari yang mengalami ITB problem, ya Iliotibial Band.   Keluhan kaki yang sering dialami pelari amatir, gejala sakitnya adalah sakit nyeri  di area dengkul sebelah luar baik selama lari atau sesudah lari. Berbagai cara telah dilakukan untuk mengurangi  penyebaran nyeri di ITB, dari metode urut, streching, serta latihan muscle strength telah dilakukan, tetapi nyeri  tersebut tidak bisa hilang 100% khususnya abis lari. Selain itu adanya masalah achilles tendon di kaki sebelah kiri akibat kecelakaan sepeda pada tahun 2009 memperpanjang kondisi buruk kaki saya.   Hal inilah yang menyebabkan jarak lari saya mentok hinggal 25km (official ikut race hanya 16.8k).  Kondisi ini mendera saya dari akhir 2012. Keinginan untuk ikut half marathon, maupun marathon terpaksa dipendam.

Akan tetapi awal tahun 2013, dimana Jakarta Marathon resmi di buka pendaftarannya, membuat saya berpikir keras untuk mencoba hasrat sebagai marathoners.  Maksud hati untuk memulai latihan , tapi apa daya sakit di dengkul  dan di area tumit membuat saya agak ragu-ragu untuk latihan secara intense. Akhirnya sampai pada googling, hal-hal yang berhubungan dengan metode lari, kontur kaki, bagaimana kaki menapak pada saat lari, dll. Sangat banyak resource yang saya coba cari di internet hingga akhirnya menemukan artikel-artikel mengenai  barefoot run (lari tanpa alas).  Rupanya dengan lari barefoot, memberikan sensasi menapak lantai yang berbeda bila kita memakai sepatu bercushion (sepatu lari pada umumnya). Selain itu saya menemukan juga beberapa artikel bahwa sepatu ber-cushion selain meredam impak selama lari , juga menanggung beban torsi yang lebih besar di setiap joint/persendian ( sumber). Kondisi ini yang  menyebabkan saya gambling untuk mencoba mengikuti lari barefoot, salah satu kandidat sepatu yang saya incar adalah vibram five fingers.

Pada Juni 2013 saat berkunjung ke Taiwan , saya memutuskan untuk membeli sepatu vibram five fingers.  Awal pakai, petugas toko menanyakan ke saya apakah pernah mempunyai pengalaman memakai sepatu barefoot? Dan saya jawab tidak. Sang petugas toko menganjurkan saya untuk tidak langsung membeli, melainkan mencoba terlebih dahulu. Cukup banyak anjuran dari petugas toko:

  •  Tidak dianjurkan untuk lari lebih dari 5k pada awal membeli sepatu barefoot (meski sudah mempunyai millage lari lebih dari 5k). Saat itu petugas toko menganjurkan saya untuk tidak lari 5k selama 3 minggu saat awal menggunakan vibram
  • Pentingnya mengetahui struktur telapak kaki, dengan demikian dapat diketahui sumber sakit dalam kaki
  •  Coba menggunakan vibram di berbagai struktur tanah. Untung penjaga tokonya sangat baik, membolehkan saya menjajal dan berkeliling toko dengan tekstur tanah yang berbeda, sehingga dapat merasakan hantaman telapak kaki pada lantai tegel,  pada lantai kayu,
  •   Perlunya adaptasi kaki dengan menggunakan sepatu vibram min 3 jam sehari (meski tidak dalam kondisi latihan lari ), serta dianjurkan juga menapak dengan berbagai macam metode: jinjit, berpijak pada tumit, berpijak tapi telapak kaki mengkerut, atau berpijak di pinggiran kaki luar atau pinggiran kaki dalam . Semua ini dianjurkan agar adaptasi kaki dapat berjalan dengan baik, serta mampu mengetahui sudut pijakan yang paling nyaman
  • Pada saat mulai lari, sebaiknya diawali dengan streching/ latihan  pada bagian telapak kaki.bentuk streching / latihan dapat dilihat di bawah ini :




  •   Satu hal lagi yang di anjurkan petugas toko adalah : bila sudah mulai lari, dan ditengah proses lari bagian bawah telapak kaki terasa sakit (seperti kram), maka sebaiknya stop lari dan mulai berjalan.  Bila masih terasa sakit juga, sebaiknya mencari batu krikil untuk di taruh di bawah telapak kaki dan ditekan dengan berat badan. Metode ini mirip metode akupressure pada telapak kaki.
Akhirnya setelah lama menimang dan memilih, saya memilih Vibram Seeya sebagai sepatu barefoot pertama saya. Dipilih karena ringan , desainnya simpel, pada saat dipakai sangat bisa merasakan tanah. 


Latihan dengan Vibram Seeya 
latihan  pertama dengan sepatu vibram dilakukan pada bulan juni 2013 dengan jarak 3k, selama 2 minggu. Sempat putus asa juga mengingat telapak kaki sering tidak nyaman pada saat lari, kadang telapak kaki terasa panas membara, kadang nyeri seperti ditusuk jarum. Sempat beberapa kali merasakan kram pada telapak kaki, dan metode menekan batu krikil di telapak kaki banyak membantu agar saya bisa tetap lari lagi. Saya membiasakan  untuk lari forefoot strike, kadang sambil jinjit, kadang midfoot strike. Intinya mensiasati ketidaknyamanan di telapak kaki. Ketidaknyamanan sering terjadi bila aspak ataupun lantai yang dipijak tidak rata. 

Setelah itu  latihan mulai di intensifkan dengan menambah jarak dari 5-10 k dalam waktu 1 bulan . Seringkali latihan hanya dapat dilakukan dengan pace 6-7, dan berhenti bila dirasa sakit pada ITB, atau telapak kaki. Setelah 1bulan lebih memakai vibram , terjadi perubahan yang cukup banyak pada kaki kanan dan kaki kiri saya. Intensitas sakit di dengkul (ITB) menjadi berkurang dibandingkan sakit di bagian telapak kaki. Cukup frustasi juga mengingat sudah memasuki bulan Juli akhir, dan hanya mampu lari  tidak lebih dari 10k. 

Sekembali ke Indonesia  dan jadwal  kesibukan kantor yang meningkat, terpaksa latihan lari hanya dapat dilakukan seminggu 3kali dengan jarak tempuh dibawah 5k (biasa dilakukan pada pagi hari sebelum kekantor). Kadang diselingi latihan berenang dan bike-to-work untuk menjaga otot kaki tetap terlatih. Sedangkan weekend dihabiskan untuk family time (disatu sisi ga pede juga long run). Hingga Oktober minggu ke 2 milage terjauh yang pernah dilakukan hanya 15k mengingat kondisi waktu kosong dan takut cedera kaki menjelang lomba.


Hari H, 27 Oktober 2013
Hari penantian  telah tiba, malam sebelumnya penuh dengan rasa nervous. baru selesai packing jam 10malam , sambil mempersiapkan Martabak + isotonik untuk perisapan lari. 

Bangun jam 3 pagi, makan martabak, 1 butir saltstick, sambil minum air 1 L. 

Start lari jam 5 pagi, meski sempat kebawa ardenalin tinggi dan keinginan memacu kaki hingga pace dibawah 5, akhirnya saya berkepikiran untuk main aman, dengan pace 5.5 (10.7kpj). Agar bisa sukses finish, beberapa strategi saya perhatikan:
  • memakai kaoskaki berjari (ini sangat membantu untuk mengurangi blister)
  •  cukup hidrasi (minum setiap waterstation, minum isotonik setiap ada waterstation isotonik, dan makan buah setiap ada fruit station).
  • lari dengan kecepatan sendiri, serta berusaha untuk mengurangi impak dikaki
 Beberapa hal lucu yang selama perjalanan lari, seperti bertemu sesama pemakai vibram , hingga pelari nyeker ( barefoot runner tulen)

Pada kilometer 23k , telapak kaki depan mulai terasa sakit rupanya gesekan dengan aspal bener2 panas. Terpaksa lari dengan midfoot, sehingga kondisi lari mirip seperti pakai sendal jepit (bunyi ceplek-ceplek). Meski demikian, sepatu tetap dijaga kering karena takut memberatkan kaki + menambah gesekan. Sempat telapak kaki mau keram, akhirnya berhenti bentar mencari batu krikil atau tonjolan untuk cram releaser
Pada km 30 mulai pertama kali berhenti lari + jalan, karena kaki mulai pegal hingga ke area paha. kondisi ini berlangsung hingga finish. Berapa teman lari memberi semangat, terima kasih buat Rezpo, Steven, Jimmy Pangestu, Helen , Abdoulah Mitiche, Om Petrus Sidharta, serta teman2 di water station : Nota, Dini Indra, Dendy, teman2 komunitas BUB. 
7 Km terakhir merupakan perjalanan yang paling sulit, dimana tenaga sudah habis, kaki terasa sangat berat, dan panas matahari. Beruntung sekali mendekati garis finish, Abdoullah Mitiche memberi semangat dan pocari sweat, sembari menjadi pacer. 
Menjelang 2 km menuju finish, Abdoul menganjurkan saya dan 2teman runner untuk saling menjaga pace, sehingga semangat lari tidak turun. 








Sungguh merupakan pengalaman yang mengharukan, senang, cape, dimana bisa finish. dan yang paling merasa bersyukur, bisa menyelesaikan lari 42k dengan sepatu minimalis dengan hasil waktu 4 jam 44 menit 


Recovery 

 Sepulang kerumah hal yang dilakukan meliputi : 
  • minum cold choco milk 1l, yummy cuma abis itu badan sempat meriang karena rupanya temp tubuh masih terlalu tinggi
  • ice bath bagian kaki, (sayang ember dirumah kurang gede)
  • makan carbo + protein pas lunch n dinner
awalnya sempat pasrah karena biasanya dengkul akan sakit selama 1 minggu lebih setelah race, cuma cukup ajaib dengan memakai sepatu vibram sakit ITB tidak terjadi. Memang 2 hari pertama paska lari marathon, seluruh kaki sangat pegal. Setelah dilakukan light streching dan banyak bergerak pegal2 di kaki pelan2 berkurang

Insight selama menjadi barefoot runner
  • menjadi lebih aware dengan kondisi kaki. dengan barefoot shoes, kaki menjadi sangat sensitif. Sedikit sakit sudah terasa. Hal ini menyebabkan saya lebih ekstra hati-hati dalam memilih pijakan kaki/lari. 
  • kaki sempat blister (telapak kanan dan kiri), tapi tidak pecah. 
  • kuku kaki tidak copot (Thanks God), ini hal yang saya takuti selama lari, mengingat banyak sekali cerita temen2 marathoner yang kukunya copot
  • kaki tidak berkeringat yang berlebihan. Kaki saya termasuk yang sering berkeringat, sehingga seringkali pas lari (baik long run atau triathlon), sepatu terasa penuh dengan air. Dengan vibram seeya ls, dengan kain yang penuh rongga+ breathable mengurangi penumpukan kringat

Komentar

  1. Ki.. gw sempet ngalamin sakit dengkul seperti deskripsi lu.. ilang dg maksa jarak pendek lebih rutin (maksimum 10km), threadmill.. dan latihan beban. Ilang! Gw punya 2 sepatu dg sole berbeda.. satu merrel dg sole vibram yg tipis dan mizuno wave creation dg cushion yang cukup tinggi.. sepatu dg cushion ngebantu ngurangin lutut sakit.. cuman 2-2 nya tetap nggak ngebantu sakit di telapak kaki depan.. panas dan sangat nyeri.. ini jadi hambatn paling besar diatas 20km.. punya solusi? Nggak bikin jera tapi butuh solusi.. 6 jam an bo! 3.5 jam terakhir di 2nd half! Target awalnya sebenernya gak muluk2 5 jam.. mengingat persiapan banyak jarak pendek..

    BalasHapus

Posting Komentar